Pada pasien ini
didapatkan keluhan epistaksis
dari hidung sisi kanan sejak 7 bulan yang lalu. Epistaksis makin memberat dan sering hampirdalam seminggu sekalimengalamiepistaksis.
Jumlah darah setiap kaliepistaksis
sebanyak 1 ember kecil penuh (± 1000 ml) warna darah merah segar. Telinga sisi kanan
terasa seperti ditusuk, namun keluhan ini jarang timbul, ada keluhan nyeri pada
gigi dan bibir atas kanan, mata kanan pandangan terasa ganda. Muka sisi kanan
menceng pada bagian kanan atas. Keluhan ini dirasakan setelah kecelakaan lalu
lintas 5 tahun sebelumnya. Keluhan buntu hidung, telinga grebek-grebek, pipi
tebal dan benjolan dileher disangkal. Empat tahun setelah kecelakaan mulai munculepistaksis. Riwayat
dirawat di RS 10 kali dengan 8 kali transfusi, setiap transfusi 2-3 kantong
darah.
Gejala klinis dapat
bervariasi, pseudoaneurisma sinus sfenoid traumatik harus dicurigai pada pasien
dengan 3 gejala klinis berupa traumakraniofasial
(biasanyafrakturfrontofasial), buta monokuler dandelayed epistaxis. Epistaksis dapat
berulang dari yang dapat ditoleransi dengan baik hingga perdarahan masif. Dapat
terjadi ketidakstabilan hemodinamik mulai dari beberapa hari sampai beberapa
bulan meskipun terbentuk efek fenomena
emboli dan massa.3,10Hal tersebut dialami oleh pasien ini meskipun
tidak terjadi kebutaan hanya keluhan diplopia.
Perdarahan arteri
traumatik akanlebih
berat dan karenaletaknya, lebih
sulit dalam mengontrol perdarahan dibandingkan dengan etiologi epistaksis
lainnya.3,10Trauma tumpul paling sering diikuti dengan epistaksis
yang dapat berhenti sendiri apabila perdarahan berasal dari mukosa hidung,
laserasi pada arteri sfenopalatina dan etmoid anterior. Diperlukan pemeriksaan
yang cermat untuk menegakkan diagnosis pseudoaneurisma sebagai penyebab
epistaksis. Delayed epistaxis(tertunda)
biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah trauma, namun pernah dilaporkan terjadi
40 tahun setelah trauma.8 Pasien dengan traumatik pseudoaneurisma
dari arteri karotis, dekat AKI intrakavernus akan menuju sinus sfenoid yang
mungkin menimbulkan epistaksis yang masif dan berakibat fatal.10
Dari hasil pemeriksaan
nasoendoskopi terdapat sumber perdarahan yang berasal dari daerah meatus
superior dekstra sebelah posterior dan sekitar ostium sinus sfenoid dekstra.Angiografi
karotis merupakan gold standard
untuk mendiagnosis pseudoaneurisma AKI. Pada
pemeriksaan angiografi, gambaran fase vena harus simetris atau pengisian vena
tidak lebih dari 2 detik pada sisi oklusi dibandingkan sisi kontralateral.11Pada
pseudoaneurisma, kontras akan tampak lambat mengisi dan mengosongkan saat
dilakukan angiografi, tampak kantong dengan kontur yang tidak teratur, dengan tangkai yang pendek dan opasitas yang rendah.3,7,12Angiografi
pada pasien ini pseudoaneurisma RICAsegmen infra opthalmik, menonjol ke
sinus sfenoid volume 0,450 ml ukuran neck
6 mm dan parent artery 3,5 mm
Pasien dikirim ke poli onkologi THT-KL RSUD Dr.
Soetomo Surabaya dengan diagnosis pseudoaneurisma sinus sfenoid. Pasien
direncanakan embolisasi, dan dikonsulkan ke radiologi. Dilakukan pemeriksaan
diagnostik serebral angiografi dengan anestesi lokal melalui arteri femoralis.
Kesimpulan serebral angiografi pseudoaneurysm
RICA segmen infra opthalmik, menonjol
ke sinus sfenoid volume 0,450 ml ukuran neck
6 mm dan parent artery 3,5 mm
Penatalaksanaan
epistaksis yang disebabkan oleh pseudoaneurisma AKI adalah pemasangan tampon
hidung pada keadaan darurat.
Jika ada perdarahan dari hidung dan mulut, harus dilakukan pemasangan tampon
hidung posterior dengan benar dan
kuat.Pada kasus yang kronik dengan pembedahan, ligasi arteri karotis komunis
atau AKI, namun tindakan ini masih diperdebatkan.Ligasi arteri karotis komunis/
AKI merupakan terapi standar untuk pseudoaneurisma unclippable, untuk mengendalikan perdarahan yang mengancam nyawa.12,13,17Pembedahan secara
langsung dengan clipping sangat sulit
dilakukan karena lokasi pseudoaneurisma pada sinus kavernosus sulit dicapai dan
mengontrol karena struktur tulang sekitarnya.18
Ligasi memiliki
rata-rata morbiditas 28% dan mortalitas yang tinggi sampai dengan 40%, Resiko
terjadinya iskemia serebral setelah ligasi 10-20%. Serta dapat terjadi
tromboembolik, perdarahan dan pseudoaneurisma yang menetap.Efek dari ligasi
arteri bervariasi karena sirkulasi kolateral dari sisi kontra lateral dan
anastomosis dengan AKI.Ligasi AKI relatif mudah dan tidak memerlukan keahlian
atau alat khusus tetapi memiliki resiko komplikasi yang besar yaitu stroke,
kebutaan dan kematian.17,19,20
Pendekatan endovaskuler
direkomendasikan untuk penatalaksanaan pseudoaneurisma traumatik. Embolisasi dengancoil platinum atau stent atau stent
dan coil untuk mempertahankan patensi
AKI dan mengeradikasi pseudoaneurisma serebral. Tindakan ini sangat sulitkarena
pseudoaneurisma hanya terdiri dari jaringan fibrous dan tidak mengandung elemen
pembuluh darah normal. Karena pseudoaneurisma rapuh dikhawatirkan akan ruptur,
pemasangan coil yang kuat secara
langsung pada pseudoaneurisma lebih sulit dibandingkan pada aneurisma
sesungguhnya.3,21
Menurut Mendez et al dikutip dari Tseng et almenyarankan bahwa oklusi endovaskuler
pseudoaneurisma traumatik terbaik dicapai dalam fase subakut. Karena sudah
memiliki dinding pseudoaneurisma lebih matur dan stabil, mengandung fibroblas
dan unsur lain yang memperkuat dinding serta berkapsul sehingga dapat diterapi
seperti aneurisma sesungguhnya.8,21Penatalaksanaanpseudoaneurisma
dengan stent dianggap legih logis,
lebih aman dan lebih mudah dibandingkan dengan penggunaan bahan embolisasi di
kantong pseudoaneurisma. Menurut Cothren et
al dikutip dari Tseng et al
rata-rata komplikasi tatalaksana endovaskuler dengan embolisasi stent adalah stroke.10Pada
pasien ini kemudian dilakukan tindakan dengan pemasangan stent dan coil.Pada bulan ke 4
dilaporkan pasien meninggal dunia karena perdarahan yangsebelumnyatidakadakeluhanepistaksislagipascatindakan.
Komplikasi embolisasi
salah satunya adalah ruptur pseudoaneurisma baik saat tindakan atau tertunda
setelah tindakan. Embolisasi transarterial sendiri kadang-kadang dapat terkait
dengan terbentuknya pseudoaneurisma baru. Pada pemasangan stent potensial terjadinya akut/ subakut trombosis dan mikroemboli,
meskipun jarang namun komplikasi inibermakna. Trombosis stent dapat disebabkan oleh dilatasi dan thrombogenicity stent yang rendah. Kombinasi terapi lain dengan
antiplatelet clopidogrel dan aspirin
sangat bermakna dapat menurunkan resiko tombosis stent. Dengan dosis clopidogrel 75 mg/ hari dan aspirin 100 mg
diberikan 3 hari sebelum tindakan dilanjutkan 6 bulan pasca tindakan.Embolisasi
dengan coildapat gagal meskipun
awalnya berhasil. Dengan pemasangan coil
sendiri biasanya dapatmenekan dan bergeser menuju parentartery.18
Pada pasien ini hanya
mengkonsumsi anti platelet clopidogrel bisulfate 75 mg dan aspilet 80 mg one day on one day off sebelum tindakan
serta dilanjutkan hingga 6 minggu pasca tindakan. Pasien hanya sekali kontrol
pasca tindakan. Diperlukan observasi dan follow up yang cermat untuk pasien
dengan terapi coil. Wajib dilakukan
pemeriksaan radiologi kepala secara berkala untuk melihat perubahan morfologi coil.22
KESIMPULAN
Perdarahan arteri
traumatik lebih berat dan sulit karenaletaknya,
sulit
dalam mengontrol perdarahan.Terapi ini sangat sulit karena pseudoaneurisma
hanya terdiri dari jaringan fibrous dan tidak mengandung elemen pembuluh darah.
Telah diilakukan terapistentingdan coiling ada pseudoaneurisma sinus
sfenoid pasca trauma.Pada
bulan ke 4 dilaporkan pasien meninggal dunia karena perdarahan yangsebelumnyatidakadakeluhanepistaksislagipascatindakan.
Perdarahan dapat disebabkan oleh karenarupturpseudoaneurisma,
terbentuk
pseudoaneurisma baru, migrasicoil, terapi antiplatelet yang tidak
optimal, trombosisataumikroemboli.
( sumber Netiana ,Departemen/ SMF Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok , Bedah Kepala dan
Leher , Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr Soetomo
Surabaya )
Surabaya )