Kamis, 17 April 2014

Pseudo aneurisma sinus sphenoidalis post traumatik di therapi embolisasi

Pada pasien ini didapatkan keluhan epistaksis dari hidung sisi kanan sejak 7 bulan yang lalu. Epistaksis makin memberat dan sering hampirdalam seminggu sekalimengalamiepistaksis. Jumlah darah setiap kaliepistaksis sebanyak 1 ember kecil penuh (± 1000 ml) warna darah merah segar. Telinga sisi kanan terasa seperti ditusuk, namun keluhan ini jarang timbul, ada keluhan nyeri pada gigi dan bibir atas kanan, mata kanan pandangan terasa ganda. Muka sisi kanan menceng pada bagian kanan atas. Keluhan ini dirasakan setelah kecelakaan lalu lintas 5 tahun sebelumnya. Keluhan buntu hidung, telinga grebek-grebek, pipi tebal dan benjolan dileher disangkal. Empat tahun setelah kecelakaan mulai munculepistaksis. Riwayat dirawat di RS 10 kali dengan 8 kali transfusi, setiap transfusi 2-3 kantong darah.
Gejala klinis dapat bervariasi, pseudoaneurisma sinus sfenoid traumatik harus dicurigai pada pasien dengan 3 gejala klinis berupa traumakraniofasial (biasanyafrakturfrontofasial), buta monokuler dandelayed epistaxis. Epistaksis dapat berulang dari yang dapat ditoleransi dengan baik hingga perdarahan masif. Dapat terjadi ketidakstabilan hemodinamik mulai dari beberapa hari sampai beberapa bulan meskipun  terbentuk efek fenomena emboli dan massa.3,10Hal tersebut dialami oleh pasien ini meskipun tidak terjadi kebutaan hanya keluhan diplopia.

Perdarahan arteri traumatik akanlebih berat dan karenaletaknya, lebih sulit dalam mengontrol perdarahan dibandingkan dengan etiologi epistaksis lainnya.3,10Trauma tumpul paling sering diikuti dengan epistaksis yang dapat berhenti sendiri apabila perdarahan berasal dari mukosa hidung, laserasi pada arteri sfenopalatina dan etmoid anterior. Diperlukan pemeriksaan yang cermat untuk menegakkan diagnosis pseudoaneurisma sebagai penyebab epistaksis. Delayed epistaxis(tertunda) biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah trauma, namun pernah dilaporkan terjadi 40 tahun setelah trauma.8 Pasien dengan traumatik pseudoaneurisma dari arteri karotis, dekat AKI intrakavernus akan menuju sinus sfenoid yang mungkin menimbulkan epistaksis yang masif dan berakibat fatal.10
Dari hasil pemeriksaan nasoendoskopi terdapat sumber perdarahan yang berasal dari daerah meatus superior dekstra sebelah posterior dan sekitar ostium sinus sfenoid dekstra.Angiografi karotis merupakan gold standard untuk  mendiagnosis pseudoaneurisma AKI. Pada pemeriksaan angiografi, gambaran fase vena harus simetris atau pengisian vena tidak lebih dari 2 detik pada sisi oklusi dibandingkan sisi kontralateral.11Pada pseudoaneurisma, kontras akan tampak lambat mengisi dan mengosongkan saat dilakukan angiografi, tampak kantong dengan kontur yang tidak teratur, dengan tangkai yang pendek  dan opasitas yang rendah.3,7,12Angiografi pada pasien ini  pseudoaneurisma RICAsegmen infra opthalmik, menonjol ke sinus sfenoid volume 0,450 ml ukuran neck 6 mm dan parent artery 3,5 mm 


Pasien dikirim ke poli onkologi THT-KL RSUD Dr. Soetomo Surabaya dengan diagnosis pseudoaneurisma sinus sfenoid. Pasien direncanakan embolisasi, dan dikonsulkan ke radiologi. Dilakukan pemeriksaan diagnostik serebral angiografi dengan anestesi lokal melalui arteri femoralis. Kesimpulan serebral angiografi  pseudoaneurysm RICA segmen infra opthalmik, menonjol ke sinus sfenoid volume 0,450 ml ukuran neck 6 mm dan parent artery 3,5 mm 

Penatalaksanaan epistaksis yang disebabkan oleh pseudoaneurisma AKI adalah pemasangan tampon hidung pada keadaan darurat. Jika ada perdarahan dari hidung dan mulut, harus dilakukan pemasangan tampon hidung  posterior dengan benar dan kuat.Pada kasus yang kronik dengan pembedahan, ligasi arteri karotis komunis atau AKI, namun tindakan ini masih diperdebatkan.Ligasi arteri karotis komunis/ AKI merupakan terapi standar untuk pseudoaneurisma unclippable, untuk mengendalikan perdarahan yang mengancam nyawa.12,13,17Pembedahan secara langsung dengan clipping sangat sulit dilakukan karena lokasi pseudoaneurisma pada sinus kavernosus sulit dicapai dan mengontrol karena struktur tulang sekitarnya.18
Ligasi memiliki rata-rata morbiditas 28% dan mortalitas yang tinggi sampai dengan 40%, Resiko terjadinya iskemia serebral setelah ligasi 10-20%. Serta dapat terjadi tromboembolik, perdarahan dan pseudoaneurisma yang menetap.Efek dari ligasi arteri bervariasi karena sirkulasi kolateral dari sisi kontra lateral dan anastomosis dengan AKI.Ligasi AKI relatif mudah dan tidak memerlukan keahlian atau alat khusus tetapi memiliki resiko komplikasi yang besar yaitu stroke, kebutaan dan kematian.17,19,20
Pendekatan endovaskuler direkomendasikan untuk penatalaksanaan pseudoaneurisma traumatik.  Embolisasi dengancoil platinum atau stent  atau stent dan coil untuk mempertahankan patensi AKI dan mengeradikasi pseudoaneurisma serebral. Tindakan ini sangat sulitkarena pseudoaneurisma hanya terdiri dari jaringan fibrous dan tidak mengandung elemen pembuluh darah normal. Karena pseudoaneurisma rapuh dikhawatirkan akan ruptur, pemasangan coil yang kuat secara langsung pada pseudoaneurisma lebih sulit dibandingkan pada aneurisma sesungguhnya.3,21
Menurut Mendez et al dikutip dari Tseng et almenyarankan bahwa oklusi endovaskuler pseudoaneurisma traumatik terbaik dicapai dalam fase subakut. Karena sudah memiliki dinding pseudoaneurisma lebih matur dan stabil, mengandung fibroblas dan unsur lain yang memperkuat dinding serta berkapsul sehingga dapat diterapi seperti aneurisma sesungguhnya.8,21Penatalaksanaanpseudoaneurisma dengan stent dianggap legih logis, lebih aman dan lebih mudah dibandingkan dengan penggunaan bahan embolisasi di kantong pseudoaneurisma. Menurut Cothren et al dikutip dari Tseng et al rata-rata komplikasi tatalaksana endovaskuler dengan embolisasi stent adalah stroke.10Pada pasien ini kemudian dilakukan tindakan dengan pemasangan stent dan coil.Pada bulan ke 4 dilaporkan pasien meninggal dunia karena perdarahan yangsebelumnyatidakadakeluhanepistaksislagipascatindakan.
Komplikasi embolisasi salah satunya adalah ruptur pseudoaneurisma baik saat tindakan atau tertunda setelah tindakan. Embolisasi transarterial sendiri kadang-kadang dapat terkait dengan terbentuknya pseudoaneurisma baru. Pada pemasangan stent potensial terjadinya akut/ subakut trombosis dan mikroemboli, meskipun jarang namun komplikasi inibermakna. Trombosis stent dapat disebabkan oleh dilatasi dan thrombogenicity stent yang rendah. Kombinasi terapi lain dengan antiplatelet  clopidogrel dan aspirin sangat bermakna dapat menurunkan resiko tombosis stent. Dengan dosis clopidogrel 75 mg/ hari dan aspirin 100 mg diberikan 3 hari sebelum tindakan dilanjutkan 6 bulan pasca tindakan.Embolisasi dengan coildapat gagal meskipun awalnya berhasil. Dengan pemasangan coil sendiri biasanya dapatmenekan dan bergeser menuju parentartery.18
Pada pasien ini hanya mengkonsumsi anti platelet clopidogrel bisulfate 75 mg dan aspilet 80 mg one day on one day off sebelum tindakan serta dilanjutkan hingga 6 minggu pasca tindakan. Pasien hanya sekali kontrol pasca tindakan. Diperlukan observasi dan follow up yang cermat untuk pasien dengan terapi coil. Wajib dilakukan pemeriksaan radiologi kepala secara berkala untuk melihat perubahan morfologi coil.22

KESIMPULAN
Perdarahan arteri traumatik lebih berat dan sulit karenaletaknya, sulit dalam mengontrol perdarahan.Terapi ini sangat sulit karena pseudoaneurisma hanya terdiri dari jaringan fibrous dan tidak mengandung elemen pembuluh darah. Telah diilakukan terapistentingdan coiling ada pseudoaneurisma sinus sfenoid pasca trauma.Pada bulan ke 4 dilaporkan pasien meninggal dunia karena perdarahan yangsebelumnyatidakadakeluhanepistaksislagipascatindakan. Perdarahan dapat disebabkan oleh karenarupturpseudoaneurisma, terbentuk pseudoaneurisma baru, migrasicoil, terapi antiplatelet yang tidak optimal, trombosisataumikroemboli. 
( sumber Netiana ,Departemen/ SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok  ,                                        Bedah Kepala dan Leher   ,      Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr Soetomo
            Surabaya
 )

Tidak ada komentar: